[BUTON] Gadis cantik berkostum adat Buton, duduk di depan talam yang ditutup tudung saji berhias, berisi aneka makanan tradisional, gadis-gadis itu sibuk melayani tamu, menyuapinya bak seorang ibu yang sedang memberi makan anaknya, diiringi suara tetabuhan dan gong.
Pemandangan tersebut bagian dari pesta rakyat, ritual pekande-kandea (pesta makan) yang berlangsung di Tolandona, Kecamatan Sangia Wambulu, Kabupaten Buton, Sulawesi Tenggara (Sultra), Jumat (1/8). Ribuan orang berkumpul di sebuah lapangan dalam dandanan khas ala pesta, mereka duduk saling berhadapan di depan jejeran talam yang ditutupi tudung saji.
Pekande-kandea ini tidak bisa hilang dari kebiasaan masyarakat, ini dilaksanakan setiap bulan syawal, tujuh hari setelah merayakan hari raya Idul fitri, sebagai tanda kesyukuran kepada Allah setelah sebulan penuh melaksanakan ibadah ramadhan dan berharap bisa bertemu dengan ramadhan di tahun berikutnya, jelas La Ode Kamaluddin, tokoh adat dari lingkungan Keraton Buton.
Pengunjung yang ikut dalam ritual pekande-kandea bisa menikmati berbagai jenis makanan khas, misalnya lepat, ketupat, buras, opor ayam, sate panggang, ayam goreng, ikan bakar rica-rica dan berbagai penganan tradisional masyarakat Buton tanpa membayar, pengunjung tinggal memilih jenis yang diinginkan dan gadis-gadis penunggu talam siap melayani, bahkan menyuapi, setelah itu pengunjung cukup memberi tip jasa pelayanan sebagaimntanda terima kasih kepada gadis penunggu talang yang melayani, jumlahnya tergantung kerelaan pengunjung.
Bertemu Jodoh
Acara ini biasanya berlanjut menjadi ajang untuk mengawali perkenalan para gadis dan perjaka, jika mereka saling sehati dan memiliki kecocokan, hubungan bisa berlanjut ke pertemuan jodoh dan itu biasanya terjadi pada avcara puncak pekande-kandea.
Acara tahunan yang biasa juga disebut ritual tompa ini sudah berlangsung ratusan tahun sejak masa kejayaan Kesultanan Buton, warisan tersebut masih utuh terjaga secara turun-temurung. “Ini warisan leluhur kami, terutama warga Sangia Wambulu, tujuh hari setelah lebaran kami berkumpul untuk bersilaturrahmi dengan sanak keluarga sambil berpesta pekande-kandea,” ujar Laode Muslimin, warga Tolandona.
Pesera tradisi adat pekande-kandea adalah warga dari desa-desa di Kecamatan Sangia Wambula, pada acara puncaknya yang dijadwalkan 9 Agustus malam, akan diikuti peserta dari kecamatan lainnya di Kabupaten Buton dan Kota Baubau dan pesta ini biasanya dibanjiri pengunjung dari berbagai daerah.
Di lokasi upacara memang tak tampak penginapan untuk menampung tamu dari jauh, mereka yang mau menghadiri acara pekande-kandea yang letaknya di kaki Pulau Muna itu biasanya bermalam di Kota Baubau karena untuk menuju lokasi tidaklah sulit, transportasi laut sangat lancar ditempuh sekitar 30 menit dengan perahu sepanjang 10 meter, bermesin tempel 40 PK dan bisa mengangkut 60 penumpang sekali melaju, tarif penyeberangan pun terbilang murah, hanya Rp 10 ribu per orang dari Pelabuhan Batu Kota Baubau menuju dermaga Tolandona, untuk ke tempat acara, ojek sepeda motor pun berbanjar menunggu penumpang di dermaga dengan bayaran Rp 3 rb per orang.
Sebenanarnya, acara ini berlangsung sepekan setelah lebaran, namun atas permintaan Bupati Buton Umar Samiun kepada tokoh adat, pembukaan acara ini dipercepat tiga hari setelah lebaran, lokasinya pun berpindah sari depan masjid ke alun-alun Sangia Wambula, di situ puncak acara 9 Agustus mendatang. “Saya minta kepada tokoh adat dan tokoh masyarakat dan itu dikabulkan supaya pekande-kandea dipercepat yaitu tiga hari setelah lebaran, bukan lagi tujuh hari, namun acara puncaknya tetap akan dilangsungkan 9 Agustus,” jelas Umar yang membuka acara tersebut, Jumat sore.
Umar berharap paket pekande-kandea ini akan menjadi agenda periwisata tahunan Buton yang melibatkan wisatawan asing, seperti festival budaya yang saban tahun digelar di Pasar Wajo [SP/M Kiblat Said] ( copy right wikipedia )